ILMARANG

ILMARANG
PANTAI LEKWAKI

Senin, 05 Mei 2014

SEJARAH SINGKAT DESA ILMARANG




Di kepulauan Babar atau dalam sistem pemerintahan adalah satu kecamatan yaitu Kecamatan Babar, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku. Terdapat dua pulau berdekatan dengan penduduknya bersaudara sesuai sejarah adat budayanya. Di setiap pulau itu, yaitu pulau Dawera dan Dawelor. Sejak zaman dahulu, di Dawera terdapat 4 (empat) desa yaitu : Desa Maray, Desa Lekleli, Desa Letmasa, dan desa Welora. Tetapi sejak tahun 50-an, penduduk desa lekleli sebagian pindah ke desa Ilmarang (Maray) dan sebagian besar pindah ke desa Letmasa sampai saat ini. Sedangkan di pulau Dawelor, terdapat 3 desa yaitu : Desa Watuwei, Desa Wiratan, dan Desa Nurnyaman. Penduduk dari 2 pulau ini memiliki adat istiadat, bahasa daerah yang sama, sehingga merupakan satu kesatuan yang kuat.
Mengenai Desa Ilmarang sekarang nama aslinya ialah Desa maray. Pada zaman dahulu, menurut penuturan ahli sejarah, penduduknya tinggal dan hidup terpencar dalam kelompok-kelompok keluarga besar yaitu soa atau marga. Setiap anggota atau rumah tangga dalam suatu soa atau keluarga besar (marga) itu berasal dari satu kata. Namun dilihat dari silsilah keturunan soa (marga) itu, di tinjau kepala keluarga yang pada hakekatnya berasal dari satu soa (marga) yang sama. Seperti soa Laimer (Letlora), Soa Ruimas (Ruimassa), Soa Matmei (Matmey), Soa Lakwel (Lekawael), dan Soa Reslei (Resley) sekarang ini. Pada zaman dahulu, ada Soa Lakwel yang hidup dan tinggal di desa Lekrey (di daratan Tutkol). Sedangkan Soa laimer, Soa Ruimas dan Soa matmey, tinggal bersama di Desa Loilor (Loilora) satu dataran/bukit rendah di epan desa Maray (Ilmarang) sekarang ini.
Kemudian masing-masing Soa ini mencari tempat tinggal baru di dataran rendah. Maka Soa Lakwel (Lekawael) pindah di dataran rendah Lekwaki dan mendirikan Desa Lekwak. Soa Laimer pindah di dataran rendah lagi dan mendirikan desa Letwikwik, sedangkan Soa Ruimas, Soa Matmei dan Soa Reslei pindah di dataran rendah juga dan mendirikan Desa maray. Tetapi pada suatu waktu, terjadilah angin ribut dan air bah atau banjir dan ombak besar naik ke darat dan memusnahkan Desa Maray dengan penduduknya, dan hanya tinggal dua yaitu anak Ruimassa (Laki-laki) dan anak Matmey (Perempuan).
Kemudian dari Desa Wiratan (Pulau Dawelor) seorang tete bernama tete Tomrel yang menjenguk keluarga Ruimas dan Matmei di Desa maray. Namun yang di temukan hanyalah puing-puing rumah bekas yang sudah punah. Maka tete tomrel membawa kedua anak itu ke Desa Wiratan untuk merawat mereka. Setelah kedua anak itu mulai dewasa, tete Tomrel kembali ke Ruimas dan Matmei tempat atau desa asalnya Maray dan bergabung dengan Soa Laimer, Lakwel untuk membangun desa baru yang di sebut kampung / Desa Maray.
Kemudian pada abad ke-20 ini penduduk desa maray dengan perahu (kora-kora) berlayar untuk mencari bahan keperluan sehari-hari di pulau-pulau lain di kepulauan Babar. Di Pulau Luang, Terdapat sebuah desa dengan nama Ilmarang. Barangkali dari nama Ilmarang inilah yang kemudian nama desa maray di ganti menjadi Ilmarang. Ketika Agama Kristen berkembang di Maluku tenggara dan sampai di pulau-pulau Dawera, Dawelor pada kira-kira Tahun 1917, maka seluruh pulau-pulau Dawera, dawelor menerima dan memeluk Agama Kristen Protestan yang dibawah oleh seorang berkebangsaan Belanda. Kemudian di tugaskan menjadi Guru Jemaat / Penginjil pertama kali di Ilmarang kemudian di ikuti dengan Desa watuwei mendapat guru jemaat / penginjil lagi. Pada giliran Pendeta W. Amanupunyo, maka Desa Ilmarang (lama) di pindahkan ke lokasi baru yang sampai saat ini dengan kedudukan rumah yang tertata dan teratur seperti saat sekarang ini.




                HUKUM ADAT DAN PERKAWINAN DI PULAU DAWELOR  DAN DAWERA
                           
Dari pulau-pulau berdampingan, dapat dikatakan penduduknya menurut sejarah nenek moyangnya, masyarakat pada umumnya bersaudara. Hal ini sesuai dengan sejarah, maupun adat budayanya, penduduk kedua pulau Dawera dan Dawelor merupakan suatu masyarakat hukum adat yang mempunyai ciri-ciri tersendiri dan berbeda dengan penduduk pulau-pulau lain di Kepulauan Babar yang merupakan hukum adat, yang memiliki ciri-ciri hukum adat yang pada hakekatnya terdapat pula berbagai bentuk hukum adat sering memiliki fariasi sifat dan ciri yang berbeda-beda berdasarkan wilayah atau religion berupa dan bentuk-bentuk jazirah atau pulau yang hukum adatnya terdapat fariasi-fariasi yang menunjukan sifat dan ciri-ciri adat yang berbeda-beda.
Namun secara umum, penduduk kepulauan Babar merupakan masyarakat hukum adat, yang karena garis besarnya dibagi dan dibedakan dalam dua bagian hukum adat :
1.      Hukum Adat Wuwlul Laul (wuwlul Lauli)
2.      Hukum Adat Ilwiar Wakmer (Ilwiar Wakmera)

Berdasarkan istilah-istilah yang digunakan dalam dua jenis hukum adat tersebut, maka istilah masing-masingnya memberikan pengertian yang dapat di perkirakan sebagai berikut dan hanya merupakan suatu prediksi saja.



1.      Hukum adat Wuwlul Laul

Dimaksudkan Hukum adat atas (Wulwul Laul) artinya atas, dan menurut pendapat, penafsiran bahwa kata atas tidak berarti hukum adat yang mempunyai kedudukan atau status yang tinggi, tetapi hanya untuk membedahkan arah atau tempat berada dan berlakunya hukum adat itu yaitu pada jazirah barat, pulau Babar dengan pulau Dai dan kepulauan Luang, Sermatang. Dan jazirah ini biasanya juga di sebut muka tanah, yang kebetulan Ibukota Kecamatan pulau-pulau Babar yaitu kota Tepa.

2.      Hukum adat Ilwiar Wakmer

Yang dimaksudkan hukum adat bawah, dan menurut penafsiran bahwa kata bawah tidak berarti hukum adat yang mempunyai kedudukan atau status yang rendah terhadap hukum adat atas, tetapi hanya untuk membedakan arah atau tempat berada dan berlakunya hukum adat tersebut, yaitu pada jazirah Timur.
Maka jelas bahwa Hukum adat Wulwul Laul dan Ilwiar Wakmer itu mempunyai status atau kedudukan yang sama. Hal ini akan terlihat dan terbukti dalam prakteknya dari beberapa jenis hukum adat dari kedua hukum adat itu, yang akan diuraikan secara umum.



IMPLEMENTASI HUKUM ADAT WUWLUL LAUL DAN ILWIAR WAKMER DALAM PRAKTEKNYA MELALUI JENIS HUKUM ADAT PELA DAN HUKUM ADAT PERKAWINAN

Di atas dalam uraian umum telah dijelaskan sebagai Kesimpulan bahwa kedua hukum adat itu mempunyai status dan kedudukan yang sama. Hal ini dapat terlihat dan terbukti dalam praktek melalui berbagai jenis hukum adat yang sama-sama terdapat pada Hukum adat Wulwul Laul dan Ilwiar Wakmer. Yaitu jenis hukum adat pela dan hukum adat perkawinan, walaupun di sana-sini terdapat fariasi-fariasi yang menunjuk perbedaan alternatif dalam prakteknya, namun masih terdapat persamaan-persamaan dalam praktek dari beberapa desa tersebut.

*      Hukum Adat Pela

Di dalam Hukum adat kemasyarakatan dan Hukum adat Wuwlul Laul dan Ilwiar Wakmer terdapat jenis-jenis hokum adat pela. Antara lain, pela antara desa tela di jazirah Barat pulau Babar dalam lingkungan Hukum adat Wuwlul Laul dan desa Wiratan di pulau Dawelor dalam lingkungan hukum adat ILwiar Wakmer, jazirah timur pulau Babar. Kedua desa yang tergabung dalam sistem pela itu, menurut hukum adat pela yang termasuk dalam kedua hukum adat di Kepulauan Babar tersebut.
Masing-masing desa itu, yaitu desa Tela dan desa Wiratan mempunyai status kedudukan dan fungsi serta perlakuan yang sama. Jadi di tinjau dari Hukum adat, baik Wuwlul Laul maupun hukum adat Ilwiar Wakmer adalah sama. Kesimpulannya bahwa isi watak dan moralitas pandangan kedua hukum adat itu adalah sama. Atau dengan kata lain kedua hukum adat itu mempunyai status dan kedudukan yang sama.

*      Hukum Adat Perkawinan

Di dalam kedua hukum adat perkawinan itu, dalam implementasi melalui prakteknya, baik di tinjau dari jazirah maupun pada pulau-pulau tertentu, terdapat fariasi-fariasi tertentu dalam pelaksanaan adat perkawinan tentang harta perkawinan untuk setiap desa itu terdapat perbedaan-perbedaan antara lain :

1.      Ada harta perkawinan yang harus di bayar lunas pada saat pelaksanaan adat perkawinan. Dalam hal ini tergambar pendirian bahwa kedua pihak orang tua menyadari manusia menurut kepercayaannya. Manusia termasuk orang dari mempelai laki-laki dan mempelai perempuan serta anak-anaknya itu adalah ciptaan Tuhan yang memiliki hak asasi, di mana di dalam hidup, terliput harta perkawinan haruslah dilakukan dengan menghormati hak masing-masing kedua pihak. Hal ini berarti terdapat pertimbangan pada kemanusiaan dalam hal melaksanakan penuntutan pembayaran harta perkawinan itu. Dalam hal ini dapat di lihat dari segi mampu dan tidak mampunya pihak orang tua atau keluarga si suami dalam menyelesaikan harta perkawinan itu, dan jalan keluarnya adalah pertimbangan yang dapat di terima akal sehat yang prosesnya melalui musyawarah (tawar-menawar) besar, sedang atau kecilnya harta perkawinan itu.
2.      Ada cara atau sistem perkawinan yang berlaku ekstrim. Dalam hal ini wujud harta perkawinan itu sudah lebih bersifat keras, tegas, dan nilainya ekonomis. Sehingga dengan pembayaran harta kawin oleh pihak orang tua / keluarga laki-laki  kepada orang tua / keluarga perempuan sudah merupakan uang / harta tebusan atau suatu nilai pembelian terhadap wanita sebagai calon istri. Jadi ternyata bahwa harta perkawinan yang di bayar orang tua laki-laki di terima oleh orang tua perempuan, merupakan harta pembelian terhadap calon istri anak perempuan mereka. Hal ini berarti bahwa secara adat perkawinan, maka hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak perempuannya itu sudah putus, sekaligus menjadi milik dari laki-laki, calon suami bersama family atau keluarganya. Jadi walaupun hubungan batin antar orang tua dan anak perempuannya tetap dapat terjalin namun secara hak dan kewajiban antara mereka sudah tidak terjalin lagi. Jadi nilai harta perkawinan di sini sudah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran kepercayaan (agama) yang di anut /dipakai dan bertentangan dengan nilai rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Ada cara atau sistem perkawinan yang sifatnya lebih sederhana. Di sini harta perkawinan tidak dibayar lunas pada saat pelaksanaan adat perkawinan. Dalam hal ini harta perkawinan tetap ada dalam adat perkawinan itu selalu di tuntut sesuai adat (Hukum adat perkawinan). Jadi jelas bahwa harta perkawinan itu tersimpan (di tunda, di gantungkan) sehingga pada suatu saat tertentu saja di tuntut pembayarannya. Apabila telah menjadi Sesuatu yang membuat rumah tangga itu mengalami masalah, menimpa dan menyebabkan rumah tangga tersebut dalam keadaan goncang, menyebabkan perceraian, atau masalah si isteri dengan merasa terhina, usaha makar atau pukulan, usaha pembunuhan atau perpindahan dari suami dengan wanita lain, sehingga menyebabkan isteri terhina, perceraian suami isteri, rumah tangganya harus cerai. Pada saat inilah orang tua, keluarga si isteri menuntut pembayaran harta perkawinan yang apakah dalam ukuran besar, menengah atau kecil, sangat tergantung pada pokok, sumbu permasalahan yang di buat oleh si suami tersebut. Ini sangat tergantung pada praktek hukum adat perkawinan baik pada wilayah pulau atau pulau-pulau tertentu dan penerapannya. Dan dapat juga dipengaruhi oleh sistem dalam lingkungan. Baik hukum adat Wuwlul Laul maupun dalam lingkungan hukum adat Ilwiar Wakmer itu masing-masing.  






HUKUM ADAT DAN PERKAWINAN DI PULAU-PULAU BABAR
Pada uraian umum, dalam pembahasan tentang dua hukum adat di kepulauan Babar dengan tempat atau lokasi keberadaanya dan lingkungan masing-masing bahwa hukum adat Ilwiar Wakmer berada pada jazirah Babar Timur dengan pulau marsela dan pulau Dawera serta pulau Dawelor. Hukum adat perkawinan di kedua pulau itu, salah satu hukum adat sebagai bagian Hukum adat Ilwiar Wakmer.
Di atas telah di jelaskan pula bahwa dalam implementasi melalui prakteknya, baik di tinjau dari jazirah maupun pulau Dawera dan dawelor, terdapat fariasi-fariasi tertentu dalam pelaksanaan adat perkawinan mengenai harta perkawinan. Untuk setiap desa itu terdapat perbedaan-perbedaan seperti yang terdapat pada sub 1,2 dan 3. Untuk pulau Dawera dan Dawelor, hukum adat perkawinan itu ada. Dan pada hakekatnya, itu sama dengan penerapan dan praktek hukum adat perkawinan. Mengenai harta perkawinan adalah sesuai dengan penerapan dan praktek harta perkawinan pada sub 3. Cara atau sistem perkawinan ini kiranya disebabkan karena sifatnya lebih sederhana dan juga oleh adanya sub 2, cara atau sistem adat perkawinan yang terlalu ekstrem.
Salah satu cirinya yang ekstrem itu, terletak pada harta perkawinan. Sifatnya ekstrem ialah bahwa harta perkawinan yang di bayar oleh orang tua / keluarga laki-laki (bakal suami) itu bernilai ekonomis, yaitu sebagai bayaran terhadap anak perempuan dari orang tua/keluarga yang menerima harta perkawinan itu. Berarti anak perempuannya seperti di jual kepada orang tua / keluarga yang anak laki-lakinya sebagai calon suaminya. Dengan demikian sudah putus hubungan kekeluargaan antara orang tua/keluarganya sendiri, dengan hak dan kewajibannya terhadap anaknya itu.  Karena sudah menjadi milik dari orang tua / keluarga calon suaminya. Dimana yang berhak calon suaminya itu, walaupun masih ada hubungan batin yang dirasakan selama hidupnya. Jadi hukum adat perkawinan dengan harta perkawinan ekstrem itu adalah tidak sesuai atau bertentangan dengan kepercayaan yang dianut atau ajaran yang dipeluk orang tua dari kedua belah pihak itu. Juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Berarti, tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dengan demikian hukum adat perkawinan dari pulau-pulau berdampingan dengan pulau Dawera dan Dawelor adalah bertolak dari cara atau sistem harta perkawinan yang terlalu ekstrim tersebut dan bertolak belakang. Maka pada hakekatnya dari kedua pulau Dawera dan pulau Dawelor, mempunyai cara atau sistem adat perkawinan itu tidak dibayar kontan / langsung / lunas pada saat upacara perkawinan adat. Dalam hal ini, harta perkawinan tetap ada dan dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan selalu dan harus di tuntut/ditegaskan.
Jadi jelas bahwa harta perkawinan tersebut walaupun tidak dibayar, tetapi akan tertunda/tersimpan atau digantungkan. Sehingga pada suatu saat tertentu, apabila terjadi suatu masalah yang menyebabkan rumah tangga itu goyang, tidak stabil, misalnya suami suka memukul, caci maki atau tindakan menyakiti isteri atau suami berzinah dengan wanita lain yang dapat menggoyahkan kerukunan rumah tangga, maka orang tua / keluarga isteri menuntut harta kawin itu harus dua kali. Itu pun di tinjau dari besar akibat perbuatan si suami itu. Dan harta kawin tersebut, harus dilunaskan melalui suatu rapat tua-tua adat atau badan yang di sebut staf Saniri Negeri, dengan berdasarkan hukum adat perkawinan yang sedang berlaku.
Sedangkan cara atau sistem perkawinan yang dianut menurut hukum adat perkawinan ini adalah Sistem Kawin Masuk. Yang dimaksudkan dengan sistem kawin masuk adalah bahwa si suami harus masuk atau tinggal dengan orang tua dari calon isteri.  Dalam pengertian calon suami atau anak mantu melayani kebutuhan hidup  sehari-hari dari mantu (bapak mantu dan ibu mantu). Dalam hal ini tidak tertutup hubungan suami (anak mantu) itu dengan orang tua kandungnya. Artinya bahwa tidak tertutup kemungkinan untuk dapat melayani/membantu orang tua kandung, serta ipar-ipar (adik-kakak) dari istrinya itu. Lagi pula marga/soa dari suami atau bapak dari anak-anak rumah tangga mengikuti marga ayahnya sendiri. Terutama orang tua dari kedua belah pihak mempunyai hak serta kewajiban untuk  anak-anak atau cucu.  
Cucu dari perkawinan / rumah tangga itu dalam berbagai bidang hukum adat atau aspek-aspek sistem kehidupan sehari-hari antara lain : perkawinan, harta perkawinan, hak milik bawaan dari ibu bapak, dari orang tuanya pada saat perkawinan adat, terbawa sebagai milik pusaka dari orang tua masing-masing/bapak ibu mereka. Kesimpulannya bahwa memiliki harta bawaan bapak dan ibu mereka serta harta pencarian oleh bapak dan ibu mereka dalam perkawinan atau rumah tangga tersebut.
Demikian secara singkat arti dan maksud dari pada sistem kawin masuk dalam lingkungan hukum adat perkawinan di dua pulau yaitu pulau Dawera dan pulau Dawelor. Hukum adat perkawinan seperti ini adalah satu jenis hukum adat di dalam masyarakat. Dan hukum adat tersebut adalah hukum adat Ilwiar Wakmer di Jazirah Timur kepulauan Babar, seperti telah diuraikan secara umum di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar