ILMARANG

ILMARANG
PANTAI LEKWAKI

Senin, 05 Mei 2014

Tanjung Lekwaki


SEJARAH HANCURNYA DESA MARAY (DESA ILMARANG)



A.      Letak Geografisnya


Desa Maray ini terletak di pulau Dawera yang paling berdekatan dengan pulau Dawelor. Pulau Dawera dan Dawelor termasuk dalam gugusan kepulauan Babar, yang dalam posisi kedudukannya dalam wilayah Propinsi Maluku. Terletak di bagian Selatan dari Maluku, yang sejak pemerintahan Hindia Belanda sudah ada pembagian termaksud dan disebut kepulauan “Selatan Daya”, sesuai letak astronomi (mata angin) dan sesuai dengan pembagian wilayah kekuasaan pemerintahan Propinsi maluku, disebut kabupaten Maluku Tenggara, sedangkan kepulauan Babar menjadi satu kecamatan dari antara delapan kecamatan di dalam wilayah kekuasaan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara sekarang ini.

B.      Aspek Sosial Budayanya

Kedua pulau ini, pulau Dawera (disebut pulau darat agak menjorok ke darat/pulau babar)  dan pulau Dawelor (disebut laut, yaitu agak ke laut, bila di lihat posisinya terhadap pulau Dawera) atau apabila di atas masing-masing pulau-pulau itu dilihat dan dibandingkan letak masing-masing pulau itu terhadap pulau Babar. Hal ini sesuai dengan cara pandang dari penduduk atau masyarakat pulau Dawera dan pulau Dawelor pada zaman dahulu kala.
Penduduk pulau dawera dan pulau Dawelor yang paling berdekatan itu dapat memungkinkan sekali bahwa sejak zaman dahulu kala penduduknya berasal dari satu turunan atau satu keluarga karena mempunyai budaya yang sama seperti adat istiadat yang pada hakekatnya sama, yang mungkin saja ada variasi dalam pelaksanaan upacara adat tertentu pada tiap-tiap desanya. Sedangkan mengenai bahasanya persis sama dengan terdapat variasi dalam tekanan atau dialeknya, namun isi dan pengertiannya sama. Budaya inilah yang mendasar dan memperkuat hubungan kekeluargaan ke jiwa silahturahiman dari penduduk atau masyarakat dari kedua pulau : yaitu pulau Dawera dan pulau Dawelor itu.
Mengenai daerah petuanan di kedua pulau tersebut, dapatlah dijelaskan bahwa daerahnya terbagi dalam berbagai petuanan atau desa menurut adat atau kelompok asal sub kekeluargaan.
Adapun pembagian daerah petuanannya sebagai berikut ini :

1.      Pulau Dawera terbagi dalam 4 daerah petuanan atau desa yaitu : Desa Ilmarang, Desa Lekleli, Desa Letmasa, dan Desa Welora.
2.  Pulau Dawelor terbagi dalam 3 daerah petuanan atau desa, yaitu : Desa Watuwei, Desa Wiratan, dan Desa Nurnyaman.

Pembagian Daerah petuanan  atau pedesaan Ini adalah pembagian sesudah datangnya pendatang baru dari luar yaitu dari penduduk pulau Versadi (Bersadi) sebelah selatan pulau Yamdena. Pulau Bersadi yang tenggelam karena tergenang atau terendam air laut, maka penduduknya dengan perahu atau orempai (bahasa Dawelor-Dawera) atau arombai, menyebar ke Timur ke daratan Yamdena dan sebagainya ke arah Barat. Salah satu perahu mereka singgah di pulau dawelor di desa Ower, selain itu ada Desa Tomreli dan Desa Alkuki yaitu desa-desa zaman dahulu yang sudah tergabung menjadi satu dengan nama Desa Wiratan. Sedangkan perahu-perahu yang lain berlayar terus menuju ke arah Barat. Salah satu keluarga dari perahu yang singgah itu yaitu keluarga Wamekm bersama isteri dan anaknya yang bernama Saily turun dan tinggal di Desa Ower. Dari keluarga Wamekm ini lahir lagi tiga anak laki-laki yang di beri nama Lakwel atau Lekawael (artinya  negeri yang tenggelam karena tergenang air), Warsoy dan Lamer (Lawery). Sesudah anak-anak ini menjadi besar, masing-masing mencari tempat tinggal sendiri, Saily tetap tinggal di Ower atau Wiratan (sekarang), Lekawael pindah di Desa Ilmarang, Warsoy pindah di Desa letmasa dan Luwresy (Lawery) pindah di desa Welora dan hingga sekarang ini keturunan mereka masih berdiam pada desa itu masing-masing. Sampai sekarang ini, keempat kekeluargaan ini selalu membina hubungan kekeluargaan terutama dalam masalah adat, pesta kekerabatan adat dan sebagainya. Apalagi dalam masa kemajuan dewasa ini antar keluarga selalu saling membantu bila salah satu ada masalah.

C.      Penyebab Kehancuran Desa Maray

Mendahului pembahasan tentang kehancuran Desa Maray. Pada bagian ini penyusun menyajikan lebih dulu tentang struktur kewilayahan serta hubungan kemasyarakatan antara desa Ilmarang dan desa Wiratan sekarang ini pada zaman dahulu kala. Karena waktu itulah masa adanya/berdirinya Desa Alkuki, Desa Ower, dan Tomreli (penduduknya sudah bergabung dan daerah petuanannya sudah menyatu sekarang sebagai Desa Wiratan) di Dawelor. Sedangkan di Dawera terdapat petuanan Desa Ilmarang, pada zaman dahulu kala terdapat 4 desa yaitu Desa Lekrei, Desa Lekwei, dan Desa Loilor. Ketiganya terdapat di dataran tinggi berbukit/bertingkat dan yang ke-4 yaitu Desa Maray, terletak pada dataran rendah yang berdekatan dengan desa Loilor yang terletak pada tingkat pertama daerah dataran bertingkat termaksud. Pada masa itu antara desa-desa Ower dan Tomreli terdapat hubungan kekeluargaan dengan penduduk Desa Marai dan Desa Loilor di Pulau Dawera, yang selalu saling kunjung mengunjungi.
Pada saat kondisi yang aman dimana setiap anggota masyarakat pada berbagai desa dikedua Pulau dawera dan Dawelor sedang menghirup kehenungan malam, dimana sebagian besar sedang menikmati ketenangan dan kepulasan tidurnya, tiba-tiba turun angin tofan yang kuat serta menggelorakan permukaan laut dan menimbulkan gelombang laut yang sangat besar yang naik ke darat serta menyebar kepermukaan dataran rendah di mana terdapat desa Maray. Karena dalam kecepatan luar biasa dan kekuatan gelombang begitu hebat, menyebabkan penduduk desa marai itu menjadi panik sehingga dapat lari untuk meluputkan diri dari angin tofan gelombang pasang kuat itu. Akibatnya penduduk Desa Maray semuanya meninggal sebagai korban bencana angin tofan dan gelombang besar yang melanda desa yang malang itu.
Namun diantara penduduk desa yang malang tersebut Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Adil dan pengasih itu masih mengulurkan tangan yang penuh rahmat itu masih mempertahankan dua insan kecil yang telah ditinggalkan kedua orang tuanya, dimana keduanya berasal dari keluarga atau orang tua yang berbeda.
Sedangkan kedua anak ini, satunya laki-laki yang bernama Ruimas dan yang seorang adalah perempuan yang bernama Matmey. Karena keduanya telah menjadi yatim piatu, kini keduanya terpaksa harus mencari sesuatu untuk menghidupi mereka sendiri.
Karena ombak melanda dan merusak rumah mereka, seluruh kekayaan orang tuanya telah musnah lenyap. Selain itu kebun dan hasil kebun pun sudah tersapu habis dan sumur air minum mereka sudah tertutup sapuan air gelombang. Sehingga permukaan sumur tersebut bagaikan sebuah kawah kecil, sehingga sampai sekarang masih ada dan dijadikan kebun / tanah pertanian dari keluarga Ruimassa keturunan dari Ruimas itu. Sedangkan luput atau selamatnya kedua anak ini karena mereka terangkat dan terbawa sapuan ombak ke lereng bukit dan terhempas ke dalam sebuah liang yaitu goa di kaki bukit sehingga pada saat air gelombang laut turun, keduanya tertinggal dalam goa / liang dan luput dari kematian.
 Penduduk dari Desa Lekrei, Lekwei, dan Loilor itu, karena masih merasakan dan mengenangkan hebatnya angin tofan dan gelombang pasang besar yang memusnahkan itu. Sehingga mereka belum mau turun untuk melihat puing-puing desa maray untuk mencari mayat penduduk Desa Maray yang masih bergelimpangan, terlantar dan tersebar kemana-mana dan yang sedang membusuk. Dalam keadaan yang tidak menentu dan menyediakan itu, kedua anak yatim piatu, Ruimas dan Matmey sebagai anak-anak yang belum mampu mengerti suasana kesedihan yang mereka alami. Serta masalah kelaparan yang bakal mereka hadapi, mulai mengayunkan kaki melangkah satu persatu di tengah reruntuhan serta tebaran mayat penduduk yang bernasib buruk itu. Keduanya berjalan dan sangat hati-hati menuju ke pantai untuk mencari ikan ke tepi laut yang sewaktu-waktu masih sangat membahayakan hidupnya. Tujuan mereka ke pantai itu untuk mencari umbi-umbian di dalam kebun yang berdekatan dengan pantai dan selanjutnya untuk mencari ikan di laut untuk di makan bersama olehnya seharian itu.
Dalam keadaan nasib berdua yang tidak menentu dan bahaya kematian kelaparan yang semakin menghadang dan mendekat, yang memang tidak terpikirkan akibat sifat kekanak-kanakan mereka sehingga masih belum terjangkau kemampuan nalar keduanya itu. Dalam keadaan yang memang terbayangkan keduanya, telah sampai anugerah Tuhan, datanglah seorang yang masih termasuk hubungan kekeluargaan dengan orang tua dari kedua anak tersebut. Dia datang dari Desa Tomreli Pulau Dawelor untuk mau melihat sanak keluarganya yaitu orang tua atau keluarga dari Ruimas dan Matmey, apakah mereka masih hidup ataukah telah meninggal akibat dari bencana angin tofan dan gelombang besar yang melanda kedua Pulau Dawelor dan Dawera serta khususnya Desa maray di mana keluarganya, orang tua dari Ruimas dan Matmey itu berada setelah dia melihat dan menyaksikan puing-puing desa dan tebaran mayat yang bergelimpangan itu putuslah harapan dan yakinlah bahwa seluruh penduduk Desa maray termasuk sanak saudaranya telah meninggal sebagai korban bencana angin tofan dan gelombang pasang besar yang melanda dataran rendah desa Maray. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang dengan menyususr tepi pantai maka dia turun ke pantai teluk maray yang memang sangat indah pemandangan alamnya itu.
Setibanya di pantai itu, dia memandang ke laut terlihatlah dua sosok manusia kecil yang sedang mencari ikan. Dan dia berlari ke laut untuk menemui ke dua anak kecil tersebut. Segera mengetahui siapakah mereka berdua itu. Setelah mendekat dia sangat kaget dan heran dan berpikir kok masih ada hidup dua insan kecil yang sebenarnya tidak mampu menahan kekuatan hempasan gelombang besar dan kuat itu. Sedangkan orang tua mereka malah tidak mampu dan menjadi korban bencana tofan gelombang itu. Kiranya apa alasan dan latar belakang yang menyebabkan korbannya manusia dewasa yang kuat dan selamat atau luputnya kedua insan kecil dari bencana yang mudah saja melumpuhkan dan dapat menghabiskan hidup mahkluk kecil yang tidak berdaya itu. Ini sesuatu tanda heran katanya sambil memeluk kedua anak itu dengan bercucuran air matanya. Dia menanyakan apa atau siapa yang menyelamatkan keduanya dari bencana tofan dan gelombang besar yang telah menewaskan semua penduduk Desa Marai termasuk orang tua mereka sedangkan mereka berdua sendiri bisa bebas dari bencana tersebut?
Mendengar pertanyaan orang tua itu, anak-anak Ruimas dan Matmey menjawabnya dengan menceritakan apa yang mereka telah alami sendiri. Bahwa mereka sendiri mengapa terjadi demikian kepada mereka berdua karena setelah dan sedang bekecamuknya angin dan gelombang pasang besar yang mengamuk mereka terbawa keluar rumah yang sedang roboh, oleh kekuatan derasnya aliran air laut yang mengganas itu ke lereng bukit dan air gelombang tersebut menghempaskan kami berdua ke dalam goa atau liang yang ada pada pertemuan kaki bukit dan tepi di atas lereng itu sehingga pada saat air gelombang surut kami berdua tertinggal dalamgoa atau liang itu. Dan itulah yang kami alami dalam bencana itu! Dan kami melihat keadaan sudah tenang lagi, baru pada hari kedua setelah kami memperhatikan keadaan alam, kami turun ke pantai untuk mencari sendiri umbi-umbian di kebun di pantai dan sekaligus kami mencari ikan untuk makanan kami berdua seharian ini. Mendegar ke dua cerita anak itu orang tua itu tunduk memeluk mereka dan menangis. Dia mengajak kedua anak itu agar mereka mau rela mengikutinya ke desanya di Pulau Dawelor yaitu Desa Tomreli. Katanya, dia akan menjaga dan memelihara keduanya sampai dewasa dan keduanya akan kembali ke wilayah atau daerah leluhur mereka yaitu bekas desa Marai, tempat kelahiran mereka untuk membangunnya kembali dan mendiaminya.

D.     Membangun Kembali Desa Maray

Dengan terjadinya kehancuran dan musnahnya Desa marai itu, ketiga desa lainnya yang berada di daerah petuanannya seperti telah di uraikan di muka, rasanya penduduk desa-desa itu yang tadinya kurang begitu intim dalam pergaulan hidup mereka telah tergugah hatinya untuk bergabung dan hidup dalam suatu desa yang mempersatukan mereka.  Setelah terjadinya perpetuanan dan perundingan sesama mereka di capailah kesepakatan untuk membentuk desa baru di dataran rendah dimana pernah berdirinya desa Marai itu. Dengan kesepakatan itu, penduduk ketiga desa itu terutama Desa Lekrey turun ke dataran rendah. Disebelah ujung barat teluk marai dan membangun desa Lekwaki. Sedangkan kedua anak yang di asuh oleh orang tua di desa tomreli itu, sudah kembali ke dawera. Tetapi tinggal di Desa Loilor, maka keluarga Ruimas dan Matmey tidak mau turun ke dataran rendah karena mau tinggal tetap di desa Lolior saja. Oleh sebab itu, keluarga Derley (Letlora) turun ke dataran rendah dan membangun desa baru (Let Wikwik) di dekat pantai pada bagian pertengahan teluk Marai dengan pemandangan alamnya yang sangat indah itu.

Pada abad 16 dan 19, terjadi perang antara desa Lekwaky (keluarga Lekawael) dan dengan desa Loilor (keluarga Ruimas dan Matmey), penduduk desa Lekwaki (Lekawael-Ulpupy) meminta bantuan dari Desa Tepa. Dalam perang tersebut pasukan bantuan dari tepa (Lekwak) berhasil meruntuhkan tembok (Dewala) desa Loilor akhirnya desa Loilor itu kalah perang dan berdiam dengan desa Lekwaky (Lekawael) dan bantuan dari Tepa kembali ke Tepa dan hubungan kekeluargaan Lekwaki (Lekawael-Ulpupy) dan Lekwak (Tepa-Taliak) makin menjadi erat lagi.

Dengan akibat perang tersebut, maka penduduk desa Loilor (Ruimas dan Matmey), penduduk desa Let Wikwik (Letlor dan Lolkary) dan penduduk desa Lekwaki (Lekawael dan Ulpupy) menjadi rukun lagi dan mengadakan musyawarah dan memutuskan untuk bergabung dan membangun tembok/dewala desa baru yang di beri nama Desa Maray. Karena telah hidup dalam kondisi alam penjajahan mulai dari portugis, maka penduduk maray melakukan pelayaran dengan perahu ke Maluku Tengah (Ambon dan Passo). Lain ke sebelah barat ke pulau-pulau Luang-Sermata. Di pulau Luang, mereka singgah di desa Ilmarang yang sangat mengesankan bagi mereka tentang penduduk, adat pergaulan, dan keramah tamahan penduduknya, dan lebih tertarik lagi adalah nama desa tersebut yaitu “ILMARANG”. Dan setelah pelayar-pelayar tersebut kembali di desa Maray, mereka menggantikan nama Desa Maray itu dengan nama baru yaitu “ILMARANG” sampai pada masa sekarang ini.

E.      Kesimpulan

Dengan terjadinya kehancuran Desa Maray (Maray I dahulu) telah terjadi hal-hal yang mendasar yaitu:
1.      Nama anak-anak : Lelaki Ruimas dan perempuan Matmey, menjadi cikal bakal keluarga besar Ruimassa dan Matmey.
2.  Beberapa Desa yang terpencar di daerah dataran tinggi dan bertahap-bertingkat, yang sebelumnya kurang intim dan saling menyerang dan berperang, akhirnya rujuk dan terintegrasi serta bersatu dalam satu desa yaitu Desa Maray (desa Maray kedua).
3.      Nama desa Maray, sebagai nama Desa sesuai adat istiadat setempat (adat istiadat di Dawera-Dawelor), sesuai perkembangan dan dalam masa penjajahan, di ganti dengan sebutan baru, yaitu ilmarang sehingga di sebut “DESA ILMARANG”.

SEJARAH SINGKAT DESA ILMARANG




Di kepulauan Babar atau dalam sistem pemerintahan adalah satu kecamatan yaitu Kecamatan Babar, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku. Terdapat dua pulau berdekatan dengan penduduknya bersaudara sesuai sejarah adat budayanya. Di setiap pulau itu, yaitu pulau Dawera dan Dawelor. Sejak zaman dahulu, di Dawera terdapat 4 (empat) desa yaitu : Desa Maray, Desa Lekleli, Desa Letmasa, dan desa Welora. Tetapi sejak tahun 50-an, penduduk desa lekleli sebagian pindah ke desa Ilmarang (Maray) dan sebagian besar pindah ke desa Letmasa sampai saat ini. Sedangkan di pulau Dawelor, terdapat 3 desa yaitu : Desa Watuwei, Desa Wiratan, dan Desa Nurnyaman. Penduduk dari 2 pulau ini memiliki adat istiadat, bahasa daerah yang sama, sehingga merupakan satu kesatuan yang kuat.
Mengenai Desa Ilmarang sekarang nama aslinya ialah Desa maray. Pada zaman dahulu, menurut penuturan ahli sejarah, penduduknya tinggal dan hidup terpencar dalam kelompok-kelompok keluarga besar yaitu soa atau marga. Setiap anggota atau rumah tangga dalam suatu soa atau keluarga besar (marga) itu berasal dari satu kata. Namun dilihat dari silsilah keturunan soa (marga) itu, di tinjau kepala keluarga yang pada hakekatnya berasal dari satu soa (marga) yang sama. Seperti soa Laimer (Letlora), Soa Ruimas (Ruimassa), Soa Matmei (Matmey), Soa Lakwel (Lekawael), dan Soa Reslei (Resley) sekarang ini. Pada zaman dahulu, ada Soa Lakwel yang hidup dan tinggal di desa Lekrey (di daratan Tutkol). Sedangkan Soa laimer, Soa Ruimas dan Soa matmey, tinggal bersama di Desa Loilor (Loilora) satu dataran/bukit rendah di epan desa Maray (Ilmarang) sekarang ini.
Kemudian masing-masing Soa ini mencari tempat tinggal baru di dataran rendah. Maka Soa Lakwel (Lekawael) pindah di dataran rendah Lekwaki dan mendirikan Desa Lekwak. Soa Laimer pindah di dataran rendah lagi dan mendirikan desa Letwikwik, sedangkan Soa Ruimas, Soa Matmei dan Soa Reslei pindah di dataran rendah juga dan mendirikan Desa maray. Tetapi pada suatu waktu, terjadilah angin ribut dan air bah atau banjir dan ombak besar naik ke darat dan memusnahkan Desa Maray dengan penduduknya, dan hanya tinggal dua yaitu anak Ruimassa (Laki-laki) dan anak Matmey (Perempuan).
Kemudian dari Desa Wiratan (Pulau Dawelor) seorang tete bernama tete Tomrel yang menjenguk keluarga Ruimas dan Matmei di Desa maray. Namun yang di temukan hanyalah puing-puing rumah bekas yang sudah punah. Maka tete tomrel membawa kedua anak itu ke Desa Wiratan untuk merawat mereka. Setelah kedua anak itu mulai dewasa, tete Tomrel kembali ke Ruimas dan Matmei tempat atau desa asalnya Maray dan bergabung dengan Soa Laimer, Lakwel untuk membangun desa baru yang di sebut kampung / Desa Maray.
Kemudian pada abad ke-20 ini penduduk desa maray dengan perahu (kora-kora) berlayar untuk mencari bahan keperluan sehari-hari di pulau-pulau lain di kepulauan Babar. Di Pulau Luang, Terdapat sebuah desa dengan nama Ilmarang. Barangkali dari nama Ilmarang inilah yang kemudian nama desa maray di ganti menjadi Ilmarang. Ketika Agama Kristen berkembang di Maluku tenggara dan sampai di pulau-pulau Dawera, Dawelor pada kira-kira Tahun 1917, maka seluruh pulau-pulau Dawera, dawelor menerima dan memeluk Agama Kristen Protestan yang dibawah oleh seorang berkebangsaan Belanda. Kemudian di tugaskan menjadi Guru Jemaat / Penginjil pertama kali di Ilmarang kemudian di ikuti dengan Desa watuwei mendapat guru jemaat / penginjil lagi. Pada giliran Pendeta W. Amanupunyo, maka Desa Ilmarang (lama) di pindahkan ke lokasi baru yang sampai saat ini dengan kedudukan rumah yang tertata dan teratur seperti saat sekarang ini.




                HUKUM ADAT DAN PERKAWINAN DI PULAU DAWELOR  DAN DAWERA
                           
Dari pulau-pulau berdampingan, dapat dikatakan penduduknya menurut sejarah nenek moyangnya, masyarakat pada umumnya bersaudara. Hal ini sesuai dengan sejarah, maupun adat budayanya, penduduk kedua pulau Dawera dan Dawelor merupakan suatu masyarakat hukum adat yang mempunyai ciri-ciri tersendiri dan berbeda dengan penduduk pulau-pulau lain di Kepulauan Babar yang merupakan hukum adat, yang memiliki ciri-ciri hukum adat yang pada hakekatnya terdapat pula berbagai bentuk hukum adat sering memiliki fariasi sifat dan ciri yang berbeda-beda berdasarkan wilayah atau religion berupa dan bentuk-bentuk jazirah atau pulau yang hukum adatnya terdapat fariasi-fariasi yang menunjukan sifat dan ciri-ciri adat yang berbeda-beda.
Namun secara umum, penduduk kepulauan Babar merupakan masyarakat hukum adat, yang karena garis besarnya dibagi dan dibedakan dalam dua bagian hukum adat :
1.      Hukum Adat Wuwlul Laul (wuwlul Lauli)
2.      Hukum Adat Ilwiar Wakmer (Ilwiar Wakmera)

Berdasarkan istilah-istilah yang digunakan dalam dua jenis hukum adat tersebut, maka istilah masing-masingnya memberikan pengertian yang dapat di perkirakan sebagai berikut dan hanya merupakan suatu prediksi saja.



1.      Hukum adat Wuwlul Laul

Dimaksudkan Hukum adat atas (Wulwul Laul) artinya atas, dan menurut pendapat, penafsiran bahwa kata atas tidak berarti hukum adat yang mempunyai kedudukan atau status yang tinggi, tetapi hanya untuk membedahkan arah atau tempat berada dan berlakunya hukum adat itu yaitu pada jazirah barat, pulau Babar dengan pulau Dai dan kepulauan Luang, Sermatang. Dan jazirah ini biasanya juga di sebut muka tanah, yang kebetulan Ibukota Kecamatan pulau-pulau Babar yaitu kota Tepa.

2.      Hukum adat Ilwiar Wakmer

Yang dimaksudkan hukum adat bawah, dan menurut penafsiran bahwa kata bawah tidak berarti hukum adat yang mempunyai kedudukan atau status yang rendah terhadap hukum adat atas, tetapi hanya untuk membedakan arah atau tempat berada dan berlakunya hukum adat tersebut, yaitu pada jazirah Timur.
Maka jelas bahwa Hukum adat Wulwul Laul dan Ilwiar Wakmer itu mempunyai status atau kedudukan yang sama. Hal ini akan terlihat dan terbukti dalam prakteknya dari beberapa jenis hukum adat dari kedua hukum adat itu, yang akan diuraikan secara umum.



IMPLEMENTASI HUKUM ADAT WUWLUL LAUL DAN ILWIAR WAKMER DALAM PRAKTEKNYA MELALUI JENIS HUKUM ADAT PELA DAN HUKUM ADAT PERKAWINAN

Di atas dalam uraian umum telah dijelaskan sebagai Kesimpulan bahwa kedua hukum adat itu mempunyai status dan kedudukan yang sama. Hal ini dapat terlihat dan terbukti dalam praktek melalui berbagai jenis hukum adat yang sama-sama terdapat pada Hukum adat Wulwul Laul dan Ilwiar Wakmer. Yaitu jenis hukum adat pela dan hukum adat perkawinan, walaupun di sana-sini terdapat fariasi-fariasi yang menunjuk perbedaan alternatif dalam prakteknya, namun masih terdapat persamaan-persamaan dalam praktek dari beberapa desa tersebut.

*      Hukum Adat Pela

Di dalam Hukum adat kemasyarakatan dan Hukum adat Wuwlul Laul dan Ilwiar Wakmer terdapat jenis-jenis hokum adat pela. Antara lain, pela antara desa tela di jazirah Barat pulau Babar dalam lingkungan Hukum adat Wuwlul Laul dan desa Wiratan di pulau Dawelor dalam lingkungan hukum adat ILwiar Wakmer, jazirah timur pulau Babar. Kedua desa yang tergabung dalam sistem pela itu, menurut hukum adat pela yang termasuk dalam kedua hukum adat di Kepulauan Babar tersebut.
Masing-masing desa itu, yaitu desa Tela dan desa Wiratan mempunyai status kedudukan dan fungsi serta perlakuan yang sama. Jadi di tinjau dari Hukum adat, baik Wuwlul Laul maupun hukum adat Ilwiar Wakmer adalah sama. Kesimpulannya bahwa isi watak dan moralitas pandangan kedua hukum adat itu adalah sama. Atau dengan kata lain kedua hukum adat itu mempunyai status dan kedudukan yang sama.

*      Hukum Adat Perkawinan

Di dalam kedua hukum adat perkawinan itu, dalam implementasi melalui prakteknya, baik di tinjau dari jazirah maupun pada pulau-pulau tertentu, terdapat fariasi-fariasi tertentu dalam pelaksanaan adat perkawinan tentang harta perkawinan untuk setiap desa itu terdapat perbedaan-perbedaan antara lain :

1.      Ada harta perkawinan yang harus di bayar lunas pada saat pelaksanaan adat perkawinan. Dalam hal ini tergambar pendirian bahwa kedua pihak orang tua menyadari manusia menurut kepercayaannya. Manusia termasuk orang dari mempelai laki-laki dan mempelai perempuan serta anak-anaknya itu adalah ciptaan Tuhan yang memiliki hak asasi, di mana di dalam hidup, terliput harta perkawinan haruslah dilakukan dengan menghormati hak masing-masing kedua pihak. Hal ini berarti terdapat pertimbangan pada kemanusiaan dalam hal melaksanakan penuntutan pembayaran harta perkawinan itu. Dalam hal ini dapat di lihat dari segi mampu dan tidak mampunya pihak orang tua atau keluarga si suami dalam menyelesaikan harta perkawinan itu, dan jalan keluarnya adalah pertimbangan yang dapat di terima akal sehat yang prosesnya melalui musyawarah (tawar-menawar) besar, sedang atau kecilnya harta perkawinan itu.
2.      Ada cara atau sistem perkawinan yang berlaku ekstrim. Dalam hal ini wujud harta perkawinan itu sudah lebih bersifat keras, tegas, dan nilainya ekonomis. Sehingga dengan pembayaran harta kawin oleh pihak orang tua / keluarga laki-laki  kepada orang tua / keluarga perempuan sudah merupakan uang / harta tebusan atau suatu nilai pembelian terhadap wanita sebagai calon istri. Jadi ternyata bahwa harta perkawinan yang di bayar orang tua laki-laki di terima oleh orang tua perempuan, merupakan harta pembelian terhadap calon istri anak perempuan mereka. Hal ini berarti bahwa secara adat perkawinan, maka hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak perempuannya itu sudah putus, sekaligus menjadi milik dari laki-laki, calon suami bersama family atau keluarganya. Jadi walaupun hubungan batin antar orang tua dan anak perempuannya tetap dapat terjalin namun secara hak dan kewajiban antara mereka sudah tidak terjalin lagi. Jadi nilai harta perkawinan di sini sudah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran kepercayaan (agama) yang di anut /dipakai dan bertentangan dengan nilai rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Ada cara atau sistem perkawinan yang sifatnya lebih sederhana. Di sini harta perkawinan tidak dibayar lunas pada saat pelaksanaan adat perkawinan. Dalam hal ini harta perkawinan tetap ada dalam adat perkawinan itu selalu di tuntut sesuai adat (Hukum adat perkawinan). Jadi jelas bahwa harta perkawinan itu tersimpan (di tunda, di gantungkan) sehingga pada suatu saat tertentu saja di tuntut pembayarannya. Apabila telah menjadi Sesuatu yang membuat rumah tangga itu mengalami masalah, menimpa dan menyebabkan rumah tangga tersebut dalam keadaan goncang, menyebabkan perceraian, atau masalah si isteri dengan merasa terhina, usaha makar atau pukulan, usaha pembunuhan atau perpindahan dari suami dengan wanita lain, sehingga menyebabkan isteri terhina, perceraian suami isteri, rumah tangganya harus cerai. Pada saat inilah orang tua, keluarga si isteri menuntut pembayaran harta perkawinan yang apakah dalam ukuran besar, menengah atau kecil, sangat tergantung pada pokok, sumbu permasalahan yang di buat oleh si suami tersebut. Ini sangat tergantung pada praktek hukum adat perkawinan baik pada wilayah pulau atau pulau-pulau tertentu dan penerapannya. Dan dapat juga dipengaruhi oleh sistem dalam lingkungan. Baik hukum adat Wuwlul Laul maupun dalam lingkungan hukum adat Ilwiar Wakmer itu masing-masing.  






HUKUM ADAT DAN PERKAWINAN DI PULAU-PULAU BABAR
Pada uraian umum, dalam pembahasan tentang dua hukum adat di kepulauan Babar dengan tempat atau lokasi keberadaanya dan lingkungan masing-masing bahwa hukum adat Ilwiar Wakmer berada pada jazirah Babar Timur dengan pulau marsela dan pulau Dawera serta pulau Dawelor. Hukum adat perkawinan di kedua pulau itu, salah satu hukum adat sebagai bagian Hukum adat Ilwiar Wakmer.
Di atas telah di jelaskan pula bahwa dalam implementasi melalui prakteknya, baik di tinjau dari jazirah maupun pulau Dawera dan dawelor, terdapat fariasi-fariasi tertentu dalam pelaksanaan adat perkawinan mengenai harta perkawinan. Untuk setiap desa itu terdapat perbedaan-perbedaan seperti yang terdapat pada sub 1,2 dan 3. Untuk pulau Dawera dan Dawelor, hukum adat perkawinan itu ada. Dan pada hakekatnya, itu sama dengan penerapan dan praktek hukum adat perkawinan. Mengenai harta perkawinan adalah sesuai dengan penerapan dan praktek harta perkawinan pada sub 3. Cara atau sistem perkawinan ini kiranya disebabkan karena sifatnya lebih sederhana dan juga oleh adanya sub 2, cara atau sistem adat perkawinan yang terlalu ekstrem.
Salah satu cirinya yang ekstrem itu, terletak pada harta perkawinan. Sifatnya ekstrem ialah bahwa harta perkawinan yang di bayar oleh orang tua / keluarga laki-laki (bakal suami) itu bernilai ekonomis, yaitu sebagai bayaran terhadap anak perempuan dari orang tua/keluarga yang menerima harta perkawinan itu. Berarti anak perempuannya seperti di jual kepada orang tua / keluarga yang anak laki-lakinya sebagai calon suaminya. Dengan demikian sudah putus hubungan kekeluargaan antara orang tua/keluarganya sendiri, dengan hak dan kewajibannya terhadap anaknya itu.  Karena sudah menjadi milik dari orang tua / keluarga calon suaminya. Dimana yang berhak calon suaminya itu, walaupun masih ada hubungan batin yang dirasakan selama hidupnya. Jadi hukum adat perkawinan dengan harta perkawinan ekstrem itu adalah tidak sesuai atau bertentangan dengan kepercayaan yang dianut atau ajaran yang dipeluk orang tua dari kedua belah pihak itu. Juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Berarti, tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dengan demikian hukum adat perkawinan dari pulau-pulau berdampingan dengan pulau Dawera dan Dawelor adalah bertolak dari cara atau sistem harta perkawinan yang terlalu ekstrim tersebut dan bertolak belakang. Maka pada hakekatnya dari kedua pulau Dawera dan pulau Dawelor, mempunyai cara atau sistem adat perkawinan itu tidak dibayar kontan / langsung / lunas pada saat upacara perkawinan adat. Dalam hal ini, harta perkawinan tetap ada dan dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan selalu dan harus di tuntut/ditegaskan.
Jadi jelas bahwa harta perkawinan tersebut walaupun tidak dibayar, tetapi akan tertunda/tersimpan atau digantungkan. Sehingga pada suatu saat tertentu, apabila terjadi suatu masalah yang menyebabkan rumah tangga itu goyang, tidak stabil, misalnya suami suka memukul, caci maki atau tindakan menyakiti isteri atau suami berzinah dengan wanita lain yang dapat menggoyahkan kerukunan rumah tangga, maka orang tua / keluarga isteri menuntut harta kawin itu harus dua kali. Itu pun di tinjau dari besar akibat perbuatan si suami itu. Dan harta kawin tersebut, harus dilunaskan melalui suatu rapat tua-tua adat atau badan yang di sebut staf Saniri Negeri, dengan berdasarkan hukum adat perkawinan yang sedang berlaku.
Sedangkan cara atau sistem perkawinan yang dianut menurut hukum adat perkawinan ini adalah Sistem Kawin Masuk. Yang dimaksudkan dengan sistem kawin masuk adalah bahwa si suami harus masuk atau tinggal dengan orang tua dari calon isteri.  Dalam pengertian calon suami atau anak mantu melayani kebutuhan hidup  sehari-hari dari mantu (bapak mantu dan ibu mantu). Dalam hal ini tidak tertutup hubungan suami (anak mantu) itu dengan orang tua kandungnya. Artinya bahwa tidak tertutup kemungkinan untuk dapat melayani/membantu orang tua kandung, serta ipar-ipar (adik-kakak) dari istrinya itu. Lagi pula marga/soa dari suami atau bapak dari anak-anak rumah tangga mengikuti marga ayahnya sendiri. Terutama orang tua dari kedua belah pihak mempunyai hak serta kewajiban untuk  anak-anak atau cucu.  
Cucu dari perkawinan / rumah tangga itu dalam berbagai bidang hukum adat atau aspek-aspek sistem kehidupan sehari-hari antara lain : perkawinan, harta perkawinan, hak milik bawaan dari ibu bapak, dari orang tuanya pada saat perkawinan adat, terbawa sebagai milik pusaka dari orang tua masing-masing/bapak ibu mereka. Kesimpulannya bahwa memiliki harta bawaan bapak dan ibu mereka serta harta pencarian oleh bapak dan ibu mereka dalam perkawinan atau rumah tangga tersebut.
Demikian secara singkat arti dan maksud dari pada sistem kawin masuk dalam lingkungan hukum adat perkawinan di dua pulau yaitu pulau Dawera dan pulau Dawelor. Hukum adat perkawinan seperti ini adalah satu jenis hukum adat di dalam masyarakat. Dan hukum adat tersebut adalah hukum adat Ilwiar Wakmer di Jazirah Timur kepulauan Babar, seperti telah diuraikan secara umum di atas.