Di kepulauan Babar atau dalam sistem
pemerintahan adalah satu kecamatan yaitu Kecamatan Babar, Kabupaten Maluku
Tenggara, Propinsi Maluku. Terdapat dua pulau berdekatan dengan penduduknya
bersaudara sesuai sejarah adat budayanya. Di setiap pulau itu, yaitu pulau
Dawera dan Dawelor. Sejak zaman dahulu, di Dawera terdapat 4 (empat) desa yaitu
: Desa Maray, Desa Lekleli, Desa Letmasa, dan desa Welora. Tetapi sejak tahun
50-an, penduduk desa lekleli sebagian pindah ke desa Ilmarang (Maray) dan
sebagian besar pindah ke desa Letmasa sampai saat ini. Sedangkan di pulau
Dawelor, terdapat 3 desa yaitu : Desa Watuwei, Desa Wiratan, dan Desa
Nurnyaman. Penduduk dari 2 pulau ini memiliki adat istiadat, bahasa daerah yang
sama, sehingga merupakan satu kesatuan yang kuat.
Mengenai Desa Ilmarang sekarang nama aslinya
ialah Desa maray. Pada zaman dahulu, menurut penuturan ahli sejarah,
penduduknya tinggal dan hidup terpencar dalam kelompok-kelompok keluarga besar
yaitu soa atau marga. Setiap anggota atau rumah tangga dalam suatu soa atau
keluarga besar (marga) itu berasal dari satu kata. Namun dilihat dari silsilah
keturunan soa (marga) itu, di tinjau kepala keluarga yang pada hakekatnya
berasal dari satu soa (marga) yang sama. Seperti soa Laimer (Letlora), Soa
Ruimas (Ruimassa), Soa Matmei (Matmey), Soa Lakwel (Lekawael), dan Soa Reslei
(Resley) sekarang ini. Pada zaman dahulu, ada Soa Lakwel yang hidup dan tinggal
di desa Lekrey (di daratan Tutkol). Sedangkan Soa laimer, Soa Ruimas dan Soa
matmey, tinggal bersama di Desa Loilor (Loilora) satu dataran/bukit rendah di
epan desa Maray (Ilmarang) sekarang ini.
Kemudian masing-masing Soa ini mencari tempat
tinggal baru di dataran rendah. Maka Soa Lakwel (Lekawael) pindah di dataran
rendah Lekwaki dan mendirikan Desa Lekwak. Soa Laimer pindah di dataran rendah
lagi dan mendirikan desa Letwikwik, sedangkan Soa Ruimas, Soa Matmei dan Soa
Reslei pindah di dataran rendah juga dan mendirikan Desa maray. Tetapi pada
suatu waktu, terjadilah angin ribut dan air bah atau banjir dan ombak besar
naik ke darat dan memusnahkan Desa Maray dengan penduduknya, dan hanya tinggal
dua yaitu anak Ruimassa (Laki-laki) dan anak Matmey (Perempuan).
Kemudian dari Desa Wiratan (Pulau Dawelor)
seorang tete bernama tete Tomrel yang menjenguk keluarga Ruimas dan Matmei di
Desa maray. Namun yang di temukan hanyalah puing-puing rumah bekas yang sudah
punah. Maka tete tomrel membawa kedua anak itu ke Desa Wiratan untuk merawat
mereka. Setelah kedua anak itu mulai dewasa, tete Tomrel kembali ke Ruimas dan
Matmei tempat atau desa asalnya Maray dan bergabung dengan Soa Laimer, Lakwel
untuk membangun desa baru yang di sebut kampung / Desa Maray.
Kemudian pada abad ke-20 ini penduduk desa
maray dengan perahu (kora-kora) berlayar untuk mencari bahan keperluan
sehari-hari di pulau-pulau lain di kepulauan Babar. Di Pulau Luang, Terdapat
sebuah desa dengan nama Ilmarang. Barangkali dari nama Ilmarang inilah yang
kemudian nama desa maray di ganti menjadi Ilmarang. Ketika Agama Kristen
berkembang di Maluku tenggara dan sampai di pulau-pulau Dawera, Dawelor pada
kira-kira Tahun 1917, maka seluruh pulau-pulau Dawera, dawelor menerima dan
memeluk Agama Kristen Protestan yang dibawah oleh seorang berkebangsaan
Belanda. Kemudian di tugaskan menjadi Guru Jemaat / Penginjil pertama kali di
Ilmarang kemudian di ikuti dengan Desa watuwei mendapat guru jemaat / penginjil
lagi. Pada giliran Pendeta W. Amanupunyo, maka Desa Ilmarang (lama) di
pindahkan ke lokasi baru yang sampai saat ini dengan kedudukan rumah yang
tertata dan teratur seperti saat sekarang ini.
HUKUM ADAT DAN PERKAWINAN DI PULAU DAWELOR DAN DAWERA
Dari pulau-pulau berdampingan, dapat dikatakan
penduduknya menurut sejarah nenek moyangnya, masyarakat pada umumnya bersaudara.
Hal ini sesuai dengan sejarah, maupun adat budayanya, penduduk kedua pulau
Dawera dan Dawelor merupakan suatu masyarakat hukum adat yang mempunyai
ciri-ciri tersendiri dan berbeda dengan penduduk pulau-pulau lain di Kepulauan
Babar yang merupakan hukum adat, yang memiliki ciri-ciri hukum adat yang pada
hakekatnya terdapat pula berbagai bentuk hukum adat sering memiliki fariasi
sifat dan ciri yang berbeda-beda berdasarkan wilayah atau religion berupa dan
bentuk-bentuk jazirah atau pulau yang hukum adatnya terdapat fariasi-fariasi
yang menunjukan sifat dan ciri-ciri adat yang berbeda-beda.
Namun secara umum, penduduk kepulauan Babar
merupakan masyarakat hukum adat, yang karena garis besarnya dibagi dan
dibedakan dalam dua bagian hukum adat :
1. Hukum Adat Wuwlul Laul (wuwlul Lauli)
2. Hukum Adat Ilwiar Wakmer (Ilwiar Wakmera)
Berdasarkan istilah-istilah yang digunakan
dalam dua jenis hukum adat tersebut, maka istilah masing-masingnya memberikan
pengertian yang dapat di perkirakan sebagai berikut dan hanya merupakan suatu
prediksi saja.
1. Hukum adat Wuwlul Laul
Dimaksudkan Hukum adat atas (Wulwul Laul)
artinya atas, dan menurut pendapat, penafsiran bahwa kata atas tidak berarti
hukum adat yang mempunyai kedudukan atau status yang tinggi, tetapi hanya untuk
membedahkan arah atau tempat berada dan berlakunya hukum adat itu yaitu pada
jazirah barat, pulau Babar dengan pulau Dai dan kepulauan Luang, Sermatang. Dan
jazirah ini biasanya juga di sebut muka tanah, yang kebetulan Ibukota Kecamatan
pulau-pulau Babar yaitu kota Tepa.
2. Hukum adat Ilwiar Wakmer
Yang dimaksudkan hukum adat bawah, dan menurut
penafsiran bahwa kata bawah tidak berarti hukum adat yang mempunyai kedudukan
atau status yang rendah terhadap hukum adat atas, tetapi hanya untuk membedakan
arah atau tempat berada dan berlakunya hukum adat tersebut, yaitu pada jazirah
Timur.
Maka jelas bahwa Hukum adat Wulwul Laul dan Ilwiar Wakmer itu mempunyai status atau kedudukan yang sama. Hal
ini akan terlihat dan terbukti dalam prakteknya dari beberapa jenis hukum adat
dari kedua hukum adat itu, yang akan diuraikan secara umum.
IMPLEMENTASI HUKUM ADAT WUWLUL LAUL DAN ILWIAR WAKMER DALAM
PRAKTEKNYA MELALUI JENIS HUKUM ADAT PELA DAN HUKUM ADAT PERKAWINAN
Di atas dalam uraian umum telah dijelaskan
sebagai Kesimpulan bahwa kedua hukum adat itu mempunyai status dan kedudukan
yang sama. Hal ini dapat terlihat dan terbukti dalam praktek melalui berbagai
jenis hukum adat yang sama-sama terdapat pada Hukum adat Wulwul Laul dan Ilwiar
Wakmer. Yaitu jenis hukum adat pela dan hukum adat perkawinan, walaupun di
sana-sini terdapat fariasi-fariasi yang menunjuk perbedaan alternatif dalam
prakteknya, namun masih terdapat persamaan-persamaan dalam praktek dari
beberapa desa tersebut.
Hukum Adat Pela
Di dalam Hukum adat kemasyarakatan dan Hukum
adat Wuwlul Laul dan Ilwiar Wakmer terdapat jenis-jenis
hokum adat pela. Antara lain, pela antara desa tela di jazirah Barat pulau
Babar dalam lingkungan Hukum adat Wuwlul
Laul dan desa Wiratan di pulau Dawelor dalam lingkungan hukum adat ILwiar Wakmer, jazirah timur pulau
Babar. Kedua desa yang tergabung dalam sistem pela itu, menurut hukum adat pela
yang termasuk dalam kedua hukum adat di Kepulauan Babar tersebut.
Masing-masing desa itu, yaitu desa Tela dan
desa Wiratan mempunyai status kedudukan dan fungsi serta perlakuan yang sama.
Jadi di tinjau dari Hukum adat, baik Wuwlul
Laul maupun hukum adat Ilwiar Wakmer
adalah sama. Kesimpulannya bahwa isi watak dan moralitas pandangan kedua hukum
adat itu adalah sama. Atau dengan kata lain kedua hukum adat itu mempunyai
status dan kedudukan yang sama.
Hukum Adat Perkawinan
Di dalam kedua hukum adat perkawinan itu,
dalam implementasi melalui prakteknya, baik di tinjau dari jazirah maupun pada
pulau-pulau tertentu, terdapat fariasi-fariasi tertentu dalam pelaksanaan adat
perkawinan tentang harta perkawinan untuk setiap desa itu terdapat
perbedaan-perbedaan antara lain :
1.
Ada harta
perkawinan yang harus di bayar lunas pada saat pelaksanaan adat perkawinan.
Dalam hal ini tergambar pendirian bahwa kedua pihak orang tua menyadari manusia
menurut kepercayaannya. Manusia termasuk orang dari mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan serta anak-anaknya itu adalah ciptaan Tuhan yang memiliki
hak asasi, di mana di dalam hidup, terliput harta perkawinan haruslah dilakukan
dengan menghormati hak masing-masing kedua pihak. Hal ini berarti terdapat
pertimbangan pada kemanusiaan dalam hal melaksanakan penuntutan pembayaran
harta perkawinan itu. Dalam hal ini dapat di lihat dari segi mampu dan tidak
mampunya pihak orang tua atau keluarga si suami dalam menyelesaikan harta
perkawinan itu, dan jalan keluarnya adalah pertimbangan yang dapat di terima
akal sehat yang prosesnya melalui musyawarah (tawar-menawar) besar, sedang atau
kecilnya harta perkawinan itu.
2.
Ada cara atau
sistem perkawinan yang berlaku ekstrim. Dalam hal ini wujud harta perkawinan
itu sudah lebih bersifat keras, tegas, dan nilainya ekonomis. Sehingga dengan
pembayaran harta kawin oleh pihak orang tua / keluarga laki-laki kepada orang tua / keluarga perempuan sudah
merupakan uang / harta tebusan atau suatu nilai pembelian terhadap wanita
sebagai calon istri. Jadi ternyata bahwa harta perkawinan yang di bayar orang
tua laki-laki di terima oleh orang tua perempuan, merupakan harta pembelian
terhadap calon istri anak perempuan mereka. Hal ini berarti bahwa secara adat
perkawinan, maka hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak perempuannya
itu sudah putus, sekaligus menjadi milik dari laki-laki, calon suami bersama
family atau keluarganya. Jadi walaupun hubungan batin antar orang tua dan anak
perempuannya tetap dapat terjalin namun secara hak dan kewajiban antara mereka
sudah tidak terjalin lagi. Jadi nilai harta perkawinan di sini sudah bertentangan
dengan nilai-nilai ajaran kepercayaan (agama) yang di anut /dipakai dan
bertentangan dengan nilai rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.
Ada cara atau
sistem perkawinan yang sifatnya lebih sederhana. Di sini harta perkawinan tidak
dibayar lunas pada saat pelaksanaan adat perkawinan. Dalam hal ini harta
perkawinan tetap ada dalam adat perkawinan itu selalu di tuntut sesuai adat
(Hukum adat perkawinan). Jadi jelas bahwa harta perkawinan itu tersimpan (di
tunda, di gantungkan) sehingga pada suatu saat tertentu saja di tuntut
pembayarannya. Apabila telah menjadi Sesuatu yang membuat rumah tangga itu
mengalami masalah, menimpa dan menyebabkan rumah tangga tersebut dalam keadaan
goncang, menyebabkan perceraian, atau masalah si isteri dengan merasa terhina, usaha
makar atau pukulan, usaha pembunuhan atau perpindahan dari suami dengan wanita
lain, sehingga menyebabkan isteri terhina, perceraian suami isteri, rumah
tangganya harus cerai. Pada saat inilah orang tua, keluarga si isteri menuntut
pembayaran harta perkawinan yang apakah dalam ukuran besar, menengah atau
kecil, sangat tergantung pada pokok, sumbu permasalahan yang di buat oleh si
suami tersebut. Ini sangat tergantung pada praktek hukum adat perkawinan baik
pada wilayah pulau atau pulau-pulau tertentu dan penerapannya. Dan dapat juga
dipengaruhi oleh sistem dalam lingkungan. Baik hukum adat Wuwlul Laul maupun dalam lingkungan hukum adat Ilwiar Wakmer itu masing-masing.
HUKUM ADAT DAN PERKAWINAN DI PULAU-PULAU BABAR
Pada uraian umum, dalam pembahasan tentang dua
hukum adat di kepulauan Babar dengan tempat atau lokasi keberadaanya dan
lingkungan masing-masing bahwa hukum adat Ilwiar
Wakmer berada pada jazirah Babar Timur dengan pulau marsela dan pulau
Dawera serta pulau Dawelor. Hukum adat perkawinan di kedua pulau itu, salah
satu hukum adat sebagai bagian Hukum adat Ilwiar
Wakmer.
Di atas telah di jelaskan pula bahwa dalam
implementasi melalui prakteknya, baik di tinjau dari jazirah maupun pulau
Dawera dan dawelor, terdapat fariasi-fariasi tertentu dalam pelaksanaan adat
perkawinan mengenai harta perkawinan. Untuk setiap desa itu terdapat
perbedaan-perbedaan seperti yang terdapat pada sub 1,2 dan 3. Untuk pulau
Dawera dan Dawelor, hukum adat perkawinan itu ada. Dan pada hakekatnya, itu
sama dengan penerapan dan praktek hukum adat perkawinan. Mengenai harta
perkawinan adalah sesuai dengan penerapan dan praktek harta perkawinan pada sub
3. Cara atau sistem perkawinan ini kiranya disebabkan karena sifatnya lebih
sederhana dan juga oleh adanya sub 2, cara atau sistem adat perkawinan yang terlalu
ekstrem.
Salah satu cirinya yang ekstrem itu, terletak
pada harta perkawinan. Sifatnya ekstrem ialah bahwa harta perkawinan yang di
bayar oleh orang tua / keluarga laki-laki (bakal suami) itu bernilai ekonomis,
yaitu sebagai bayaran terhadap anak perempuan dari orang tua/keluarga yang
menerima harta perkawinan itu. Berarti anak perempuannya seperti di jual kepada
orang tua / keluarga yang anak laki-lakinya sebagai calon suaminya. Dengan
demikian sudah putus hubungan kekeluargaan antara orang tua/keluarganya
sendiri, dengan hak dan kewajibannya terhadap anaknya itu. Karena sudah menjadi milik dari orang tua /
keluarga calon suaminya. Dimana yang berhak calon suaminya itu, walaupun masih
ada hubungan batin yang dirasakan selama hidupnya. Jadi hukum adat perkawinan
dengan harta perkawinan ekstrem itu adalah tidak sesuai atau bertentangan
dengan kepercayaan yang dianut atau ajaran yang dipeluk orang tua dari kedua
belah pihak itu. Juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan yang adil dan
beradab. Berarti, tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dengan demikian hukum adat perkawinan dari
pulau-pulau berdampingan dengan pulau Dawera dan Dawelor adalah bertolak dari
cara atau sistem harta perkawinan yang terlalu ekstrim tersebut dan bertolak
belakang. Maka pada hakekatnya dari kedua pulau Dawera dan pulau Dawelor,
mempunyai cara atau sistem adat perkawinan itu tidak dibayar kontan / langsung
/ lunas pada saat upacara perkawinan adat. Dalam hal ini, harta perkawinan
tetap ada dan dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan selalu dan harus di
tuntut/ditegaskan.
Jadi jelas bahwa harta perkawinan tersebut
walaupun tidak dibayar, tetapi akan tertunda/tersimpan atau digantungkan.
Sehingga pada suatu saat tertentu, apabila terjadi suatu masalah yang
menyebabkan rumah tangga itu goyang, tidak stabil, misalnya suami suka memukul,
caci maki atau tindakan menyakiti isteri atau suami berzinah dengan wanita lain
yang dapat menggoyahkan kerukunan rumah tangga, maka orang tua / keluarga
isteri menuntut harta kawin itu harus dua kali. Itu pun di tinjau dari besar
akibat perbuatan si suami itu. Dan harta kawin tersebut, harus dilunaskan
melalui suatu rapat tua-tua adat atau badan yang di sebut staf Saniri Negeri,
dengan berdasarkan hukum adat perkawinan yang sedang berlaku.
Sedangkan cara atau sistem perkawinan yang
dianut menurut hukum adat perkawinan ini adalah Sistem Kawin Masuk. Yang dimaksudkan dengan sistem kawin masuk
adalah bahwa si suami harus masuk atau tinggal dengan orang tua dari calon
isteri. Dalam pengertian calon suami atau
anak mantu melayani kebutuhan hidup
sehari-hari dari mantu (bapak mantu dan ibu mantu). Dalam hal ini tidak
tertutup hubungan suami (anak mantu) itu dengan orang tua kandungnya. Artinya
bahwa tidak tertutup kemungkinan untuk dapat melayani/membantu orang tua
kandung, serta ipar-ipar (adik-kakak) dari istrinya itu. Lagi pula marga/soa
dari suami atau bapak dari anak-anak rumah tangga mengikuti marga ayahnya
sendiri. Terutama orang tua dari kedua belah pihak mempunyai hak serta
kewajiban untuk anak-anak atau
cucu.
Cucu dari perkawinan / rumah tangga itu dalam
berbagai bidang hukum adat atau aspek-aspek sistem kehidupan sehari-hari antara
lain : perkawinan, harta perkawinan, hak milik bawaan dari ibu bapak, dari
orang tuanya pada saat perkawinan adat, terbawa sebagai milik pusaka dari orang
tua masing-masing/bapak ibu mereka. Kesimpulannya bahwa memiliki harta bawaan
bapak dan ibu mereka serta harta pencarian oleh bapak dan ibu mereka dalam
perkawinan atau rumah tangga tersebut.
Demikian secara singkat arti dan maksud dari
pada sistem kawin masuk dalam lingkungan hukum adat perkawinan di dua pulau
yaitu pulau Dawera dan pulau Dawelor. Hukum adat perkawinan seperti ini adalah
satu jenis hukum adat di dalam masyarakat. Dan hukum adat tersebut adalah hukum
adat Ilwiar Wakmer di Jazirah Timur
kepulauan Babar, seperti telah diuraikan secara umum di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar